Deep sea shark oil fans club a.k.a Ritual Kelompok Sesat van Cikoko
Pada suatu hari, Djieneh (Adji Aneh, hehehe…), mengabarkan kepada saya melalui sms, bahwa dalam perjalanannya ke Melalui fermentasi dan distilasi selama empat bulan, siaplah minyak itu dikonsumsi sebagai obat berbagai penyakit, salah satunya adalah kista, yang saat ini tumbuh lagi di indung telurku yang tersisa. Tak lupa, diapun berpromosi bahwa khasiat minyak ikan itu sudah melewati berbagai penelitian dan percobaan sehingga konon terbukti kemujarabannya, harganyapun lumayan mahal. Kalo saya mau dia akan bawa barang sebotol. Meski membayangkan minum minyak ikan yang bikin mual, saya menyetujuinya dengan penuh rasa terimakasih dan penghargaan karena dia sangat thoughtful; dan dengan pengharapan untuk kesembuhan penyakitku sehingga saya tak perlu lagi dioperasi. Trauma pasca operasi besar diperut karena usus buntu dan endometriosis saat aku di Papua masih terasa di ujung syaraf di seluruh permukaan kulit, saya belum bisa membayangkan bila harus melalui sekali lagi operasi untuk penyakit yang sama. Setelah upaya herbal treatment yang diupayakan Ucok, Witjak dan jeng Tiur Ramuanwati, atas petunjuk dan pengarahan seorang suhu dari Depok, berhasil mengurangi dismenorrhea yang menyiksa saya setiap kali mens, sehingga bulan ini saya tak perlu lagi dilarikan ke UGD, maka, saya dengan senang hati siap melakukan upaya yang lain, apapun yang bisa menghindarkan saya dari meja operasi. Singkat cerita, Djieneh pulang membawa minyak ikan obat mujarab untuk kista. Tapi diluar dugaan, minyak ikan itu masih dalam bentuk minyak bow! Ya, cairan kental berwarna kuning yang baunya amis bikin mual. Haduuhh…!! Teknologi pengemasan minyak ikan agar nyaman dikonsumsi belum dikuasai frater itu ternyata. Djieneh membawanya dalam botol kecil minuman kratingdeng. Saya harus meminumnya satu sendok makan tiap hari!, dengan siksaan rasa mual setelahnya. Seperti halnya ramuan herbal yang saya minum, saya perlu ‘penyodok’, minuman lain yang berasa enak untuk menghilangkan rasa mual, dan jeng Tiur selalu siap dengan teh panas manis untuk membersihkan sisa-sisa minyak di mulut dan kerongkongan. Lumayan menolong, meski masih terasa saat sendawa. Tapi saya sering sangat malas kalau saatnya harus minum minyak itu. Yang membuat saya bersemangat adalah bila yang lain juga mau ikut minum dan merasa mual seperti sayah !! hahaha! Dan aduuh, ternyata mereka mau!! Demikianlah, sebuah ritual baru ‘kelompok sesat’ telah dimulai, minum minyak ikan sama-sama, karena satu motivasi dan interest yang sama : memastikan saya minum minyak ikan! Motivasi dan interest yang untuk saya sungguh mengharukan. Mereka tak harus minum minyak ikan itu, tapi setiap orang siap dengan pembenarannya: Djieneh supaya penyumbatan darah di kepalanya mengurai dan keanehannya berkurang; jeng Piyik supaya cepat dapat anak dan usaha rumah makannya maju pesat; Witjak supaya lebih fokus dan tambah ganteng, dan kembali menghangat; Tiur supaya kulitnya jadi lebih halus dan nggak jerawatan, dan nggak terlalu bitchy; Diyah Gemblung supaya selalu tabah dan bahagia di Aceh, serta lesung pipit yang membuat senyumnya sangat manis bisa abadi; bahkan kami siap dengan justifikasi untuk Ucok dan Ning yang saat ini tidak bersama kami di markas kelompok sesat, seandainya mereka ada bersama kami saat melakukan ritual: Ucok supaya tetap sehat, bahagia dan nggak makin cerewet, dan ben bikin dia malas noto-noto apapun di rumah (jeng Tiur katanya pusing Cok, lihat sampeyan beres-beres dari pagi sampe malam di rumah-kayak upik abu); Ning supaya lebih sensitive mata hati dan jiwanya dan bisa jadi gender expert di Papua. Amien !! Demikianlah cerita saya tentang minyak ikan dan kelompok sesat dari Cikoko. Sampai bertemu dalam ritual yang lain. Labels: Kelompok Sesat Van Cikoko si Okol @ 10:33:00 AM
|
Satu sore bersama Carmelita..
Jalan-jalan ke kampung Wamena di belakang rumah. Bertemu Carmelita yang lucu dan menggemaskan. Dia menyukaiku dan nampak nyaman bersamaku!. uhuhuu..hatiku meleleh dengan cepat. Biasanya anak kecil takut dengan tampangku yg sering jutek. Tapi Carmelita bisa merasakan energi positif dariku yang membuatnya selalu ingin ku gendong. Carmelita tahu bahwa aku baik hati, lembut dan tidak sombong, meski tidak rajin menabung dan kadang bertampang sangar. Sore itu, aku jatuh hati pada Carmelita. si Okol @ 8:31:00 PM
|
I Had a Wonderful Time....
It was a long-long journey. Jayapura-Jakarta-Bandung-Jakarta-Jogya-Jakarta-Jayapura. Tired. Exhausted. Fulfilled. Love you all guys. And Thanks. si Okol @ 5:20:00 PM
|
Dia Sahabat Hati.
Kami bertemu pertama kali di salah satu guest house yang disewa lembaga tempat kami bekerja di Aceh. Namanya Ucok, orang-orang memanggilnya demikian. Dan aku tak ambil pusing untuk mencari tahu nama aslinya. Kupikir lucu juga ada perempuan dengan panggilan Ucok, PKU, Perempuan Kok Ucok. Baru kemudian kuketahui nama aslinya yang sangat manis, Rini. Dan dia sungguh seorang yang sangat manis sebagai teman dan sahabat, meski buat sebagian orang, dan terkadang memang, dia sungguh anak perempuan yang ngeyel, ngeselin, amat jahil dan keras kepala. Tapi karena dia ngeyel dan keras kepala, maka dia sungguh perempuan yang mau berjuang untuk prinsip hidupnya. Dia akan bicara blak-blakan tentang ketidak setujuannya kepada orang yang dia lihat melakukan hal-hal yang menurutnya bodoh, misalnya seperti yang terjadi di tengah hiruk pikuk penandatanganan MoU di mesjid Raya Banda Aceh tahun lalu. Seorang mbak-mbak berjilbab entah dari lembaga mana dilabraknya di depan orang banyak karena buang sampah begitu saja di halaman mesjid itu. Dia juga menguliahi perawat-perawat di rumah sakit di Banda Aceh ketika aku di opname, dia anggap mereka tidak becus merawat aku dan pasien di kamar sebelahku yang menjerit-jerit karena infusnya habis dan darah sudah naik di selang infus itu.... Dia Ucok, yang setiap jam lima pagi siaga bangun untuk bisa memanfaatkan waktu murah dari Mentari supaya bisa ngobrol lebih lama dengan semua keponakannya di Jakarta, mereka antri bergiliran bicara dengan Bu Lik-nya, untuk cerita kemajuan sekolah, biaya-ini itu, apapun. Dan Ucok akan sabar mendengarkan mereka semua. Mengajak anak-anak itu berdiskusi tentang rencana kelanjutan sekolah mereka, tentang hobby yang ingin mereka tekuni, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Dia perempuan dewasa yang sangat menghargai dan mau mendengarkan pendapat anak-anak. Dia juga tak pernah absen bicara dengan bundanya, tentang berbagai hal yang terjadi di rumah mereka. Sesuatu yang aku sangat iri. Dan dia sangat mengerti rasa kangenku sama ibuku almarhum. Dia dengan manis akan menawarkan apakah aku mau bicara dengan bundanya setiap kali dia menelpon bundanya, kadang dia tiba-tiba menyodorkan hapenya padaku dan berkata: nih, mami mau bicara sama Oon. Ah, dia membagi perhatian bundanya dengan aku. Kami selalu berbagi kamar, di guest house, di kamar kostan berhantu dekat kantor, dan di rumah yang kami sewa bersama teman-teman yang lain, yang juga berhantu. Kami memutuskan untuk tetap sekamar. Kami patungan beli AC untuk kamar kami agar lebih nyaman. Kami saling tahu semua kebiasaan masing-masing dari bangun tidur sampai mau kembali tidur. Kami bicara setiap hari, bangun tidur, atau menjelang tidur. Tentang apapun. Kami berbagi kesenangan dan kesedihan. Kami merasa bebas untuk saling melakukan hal-hal konyol di kamar itu. Dia sering membuatku harus terbirit keluar kamar sambil nutup hidung dan ngomel-ngomel karena dia buang angin suka-suka, sementara dia tertawa ngakak bahagia. Dan, aku masih giggling sendiri saat ingat kejadian yang sungguh memalukan buatku di kamar itu, Ucok pernah nge-gep aku saat sedang nakal-nakal dengan pengunjung-setia-setiap-bulanku di Aceh. Aku ingat bagaimana awkward-nya dia melihat kami dan segera terbirit keluar kamar, dan aku ingat bagaimana aku dan dia tertawa ngakak sesudahnya. Bagaimana aku jadi bulan-bulanan celaan dan tertawaan dia berhari-hari berikutnya. Geblek. Untungnya dia Ucok dan bukan polisi syariah.... Dia, Ucok, yang menyimpan sendirian kesakitan di perutnya, dan tetap berusaha membuat teman-teman tertawa dengan kekonyolannya. Dia yang kemudian menyerah dan mau menjalani operasi besar dirahimnya, karena Ucok udah capek bikin semua orang khawatir sama Ucok.....Dia yang kemudian membuat kami semua lega dan senang melihatnya karena sesudah operasi dia tidak kurus lagi, dan pipinya yang dulu cekung kini berdaging dan sering nampak memerah. Dia bahkan berbagi pengalaman dan berusaha menyemangati kakak perempuanku yang ternyata juga menderita sakit yang sama dan harus dioperasi. Lalu kami harus berpisah, aku melanjutkan perjalanan spiritualku di Papua sementara dia tetap di Aceh. Dan kami masih melanjutkan ritual meski melalui telepon. Kami bisa tetap menangis dan tertawa bersama meski lewat telpon. Kami terbahak berdua saat dia cerita jampi-jampi yang dikasih Aji Aneh agar Wicak, lelaki yang sungguh dia sayangi, bisa lebih sayang sama dia, dan diam-diam aku amini: si Okol @ 11:56:00 AM
|
Waktu Terasa Lamban di Keheningan Sungai Digoel
Hey. Aku kangen kamu. Maaf bila kamu kesulitan menghubungi aku dan aku tidak me-reply sms-mu dengan cepat. Empat hari kemarin aku berada di pedalaman Boven Digoel, tanpa signal telepon, dan listrik yang terbatas. Setiap tengah malam, listrik akan mati, dan seluruh kecamatan akan gelap gulita. Hanya beberapa rumah penduduk yang mampu membeli genset yang lampunya menyala. Di pedalaman itu betapa waktu terasa berjalan sangat lamban. aku hampir tak sabar untuk menceritakan kepadamu bahwa langit malam hari selalu terlihat berbeda disini, di bagian selatan Tanah Papua yang lebih datar. Bintang-bintang terlihat sangat terang, terutama bintang timur itu, setiap malam aku melihatnya. Ah, wished you’re there with me. Ya. Aku sangat meridukanmu. Aku melihatmu dimana-mana disepanjang 8 jam perjalanan menyusuri sungai Digoel yang lebar dan panjang. Kamu melambaikan tangan dan tersenyum gembira, seakan menyambutku untuk menepi dan tinggal di pondok sederhana di tepi sungai itu. Aku melihatmu duduk dihadapanku diatas long-boat yang membawaku pulang pergi dari Mandobo di Tanah Merah ke Kouh. Aku mendengarkan ceritamu tentang program dana bergulir untuk ibu-ibu miskin di desa yang kau lakukan dengan teman-temanmu. Tentang mobilmu yang ditabrak mobil orang dari belakang dan sedikit rusak. Tentang Tonight I Can Write the Saddest Lines, puisi Neruda yang kamu suka dan pernah dibaca dengan suara lirih Andy Garcia. Tentang keinginanmu pergi dari kotamu. Tentang salah satu kucingmu yang sakit.. Atau tentang apa saja yang biasa engkau ceritakan... Diatas long-boat itu, engkau mendengarkan ceritaku tentang perjalananku kali ini ke pedalaman Boven Digoel. Tentang desa-desa dipedalaman Boven Digoel yang tenang dan tentram, tentang anak-anak dan orang dewasa yang menyapaku dengan ramah dan tulus setiap kali berpapasan di jalan : Selamat pagi !, selamat siang !, selamat malam!. Semua dengan senyum mengembang di wajah mereka. Tidak kulihat tatapan curiga, seperti yang kulihat di beberapa tempat lain di luar Papua. Dalam satu pertemuan dengan masyarakat di pedalaman itu, seorang kepala sekolah di satu-satunya SMP di kecamatan itu berharap bisa didirikan perpustakaan yang bisa menjawab kebutuhan bacaan bagi anak-anak didiknya. Dia meyakini bahwa perpustakaan akan membuka mata anak-anak yang terpencil itu akan dunia luar yang lebih maju. Saat itu engkau mengangguk setuju, tapi segera menyanggah: tapi dunia maju belum tentu seramah dan setulus mereka, kan ya..? Aku tersenyum dan mengiyakan. Engkau tahu? Kemarin aku bertemu dengan seorang anak dari suku Muyu bernama Hendrika. Dia putus sekolah karena tak bisa berbicara dengan jelas, suaranya selalu tercekat di tenggorokannya. Teman-temannya bilang, dia tidak sekolah karena tak punya seragam. Tante, Ibu guru bilang harus pakai seragam ke sekolah Karolina, temannya, menjelaskan padaku. Ah, banyak sekali hambatan yang malah diciptakan buat seseorang bisa bersekolah. Padahal menurutku seragam itu tidak penting. Bahkan bagus tidaknya gedung sekolah sekarang menjadi ukuran, padahal belajar mengajar bisa dilakukan dibawah pohon, asal gurunya mau mengajar dengan hati, kreatif dan menyenangkan. Engkau tahu, konon di Afrika sana, di negara yang lebih miskin, bersekolah di bawah pohon sudah biasa. Fisik sekolah tidak penting, dan kualitas belajar dan mengajar sudah menjadi prioritas disana, di negara-negara yang bisa jadi lebih miskin dari negara kita. Ahem. Ya..ya..ya..aku sedang bermimpi. Ya, belajar di bawah pohon disini malah dianggap sebagai sesuatu yang idealis dan romantis. Ah. Apapunlah..yang penting Hendrika seharusnya bisa mengikuti pelajaran di sekolah, karena dia ingin sekolah. Engkau pasti setuju denganku. Ah, ataukah guru-guru di sekolah biasa itu tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk Hendrika yang tidak lancar berbicara, ya? Entahlah. Mungkin perlu 25 tahun lagi untuk mengadakan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti Hendrika di kecamatan di pedalaman Papua itu. Aku hampir yakin bahwa Hendrika tidak akan pernah keluar dari kampungnya untuk sekolah di SLB di Jayapura, misalnya, karena orang tuanya yang sangat miskin tidak akan pernah mampu untuk itu. Ah, semoga segala hal yang baik akan didapatkan gadis kecil yang tak berbicara dengan jelas itu, untuk masa depannya. Di atas long-boat itu engkau mendengarkan ceritaku tanpa bosan. Sesekali percikan air sungai membuyarkan percakapan kita. Tapi kekuatan ingatanku tentangmu dan keheningan sungai mampu mengembalikannya dan membuatnya terdengar lebih jelas dalam pikiranku. Dan kamu masih duduk dihadapanku, sayang, dan sesekali engkau menyentuh tanganku, seakan ingin meyakinkanku bahwa kamu masih mendengarkan aku. Aku melanjutkan ceritaku tentang pertemuanku dengan seorang bapak bernama Mathias, yang diam-diam aktif dalam kegiatan jaringan underground, perjuangan untuk mewujudkan cita-cita mengibarkan bintang kejora. Aku juga bertemu dengan prajurit-prajurit Kopassus yang bertugas di Koramil di pedalaman itu. Dan pagi tadi, aku melihat Mathias naik ke atas long-boat di dampingi salah satu Kopassus bersenjata laras panjang untuk melakukan pendataan penduduk kampung di pedalaman. Ah, engkau tersenyum mendengar ini, merasa ada sesuatu yang lucu dari ceritaku...tapi memang ironik ya?. Ya, dari sisi pandang militer kita, Kopassus itu ditugaskan komandannya untuk menjaga Bapak Mathias supaya tidak diganggu para gerilyawan OPM yang dianggap masih ada dan bergerilya di hutan-hutan pedalaman. Meskipun, menurut seorang sahabat Papuaku, sebetulnya itu sungguh tak perlu. Desa-desa di pedalaman itu aman tentram. Keberadaan Kopassus di kampung-kampung itu malah menciptakan bom waktu. Yang repot kemudian adalah bapak Distrik (sebutan untuk kepala camat,..ini satu lagi yang berbeda disini, Distrik adalah sebutan untuk Kecamatan, bukan Kabupaten...). Dia harus pintar mengendalikan bom waktu itu yang justru menjadi dilema buat bapak distrik. Satu sisi, pelibatan pasukan itu akan menjadi justifikasi bahwa wilayahnya tidak aman dari gangguan, tapi disisi lain, bila dia tidak melakukannya, dia akan dianggap memihak perjuangan underground itu dan jiwanya akan terancam. Maka dilibatkanlah para prajurit itu untuk kegiatan-kegiatan kunjungan ke kampung-kampung, seperti pendataan penduduk yang sedang dilakukan, supaya mereka tidak punya prasangka yang tak perlu, supaya punya kegiatan dan terhindar dari stress karena menganggur atau hanya main bola di lapangan di samping Kantor Kecamatan itu. Dan dengan begitu mereka juga punya sedikit uang sangu untuk jalan ke kampung. Jadi begitulah... Di atas long-boat itu, sesekali kamu melihat ke atas ketika sepasang burung beberapa kali melintas diatas pucuk-pucuk pohon di hutan sepanjang tepi sungai. Engkau seakan iri dengan kebebasan burung itu berputar-putar di angkasa, terbang kemanapun mereka suka....ah, ya aku selalu ingat pada kebosananmu saat harus tinggal lebih lama di kotamu... Engkau tersenyum setiap kali melihatku melambaikan tangan dengan senang ketika berpapasan dengan long-boat yang lain, atau perahu-perahu kayu kecil di tepi sungai yang membawa perempuan dan anak-anak suku Muyu dari satu kampung ke kampung yang lain. Engkau tersenyum melihat mereka membalas lambaian tangan dan senyumku.... Ya, Aku merindukanmu. Dan betapa waktu terasa lebih lamban berjalan di keheningan sungai itu. Catatan dari perjalanan ke Boven Digoel, 18-24 June 2007. si Okol @ 9:29:00 AM
|
Yosepha Alomang
Gunung Nemangkawi itu Saya,
Danau Wanagong itu Saya punya sum-sum, laut itu saya punya kaki, Tanah ditengah ini tubuh Saya. Kou sudah makan Saya, Mana bagian dari Saya yang kou belum makan dan hancurkan? Kou sebagai pemerintah harus lihat, dan sadar bahwa kou sedang makan Saya. Coba kou hargai tanah dan tubuh Saya..!! -Yosepha Alomang, Mei 2000, dalam bukunya : Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Ternyata, dia perempuan yang sederhana berusia setengah baya, dengan postur mungil yang sekilas nampak lemah, tapi dengan garis wajah yang tegas. Perempuan mungil tapi perkasa itu adalah Yosepha Alomang, perempuan suku Amungme yang berasal dari lembah Tsinga, yang mendapatkan Yap Thiam Hien Award dan Goldman Environment Award karena perjuangannya untuk hak-hak asasi masyarakat asli Papua yang terampas oleh Freeport dan aktif melakukan advokasi issu-issu lingkungan terkait kegiatan penambangan yang dilakukan Freeport. Sorot matanya tajam, meski kemudian kuketahui dari ceritanya bahwa mata sebelah kirinya sudah mulai lamur karena katarak, atau mungkin akibat dari berbagai penderitaan yang dilaluinya selama memerangi Freeport. Dia pernah disiksa, disekap selama dua minggu di sebuah container tanpa diberi makan, bahkan disekap di WC yang penuh tinja setinggi lututnya. Ketika saya menganjurkannya untuk memeriksakan matanya dan bila mungkin melakukan operasi supaya dia dapat melihat lagi dengan jelas, beberapa kali dia menggelengkan kepalanya dengan mata yang menerawang, lalu dia mengungkapkan sesuatu yang menjadi jawaban pertanyaan saya saat dia menerawang: apa yang dia pikirkan..? Dengan bahasa Indonesia logat Papua yang dipelajarinya secara otodidak, dia mengungkapkan kekhawatirannya bila dia melakukan operasi mata, sa takut seperti Munir…su sering orang jadi sasaran-sasaran seperti itu..sa tidak mau.. Saya kemudian dapat memahami kekhawatirannya. Karena bagi seorang Yosepha Alomang, perjuangannya tidak lantas berhenti karena dua penghargaan yang didapatnya. Dia akan terus bersuara selama orang Papua belum mendapatkan keadilan di tanahnya sendiri. Berkali-kali dia dicoba dibungkam, bahkan dilenyapkan dengan berbagai cara, tetapi tak pernah berhasil. Karena seorang Mama Yosepha saat ini adalah seorang perempuan yang sangat powerful. Dunia internasional kini mengawasi dan menjaganya. Selama tiga jam pertemuan saya dengannya, dengan bahasa Indonesia yang penuh kiasan, tak hentinya dia berbicara tentang pandangannya, kecemasannya tentang situasi saat ini dan harapan-harapannya untuk kesejahteraan masyarakat asli Papua. Dia khawatir karena hingga saat ini belum ada putra Amungme atau putra asli Papua lain yang bisa berhasil membangun masyarakatnya untuk lebih sejahtera. Mama Yosepha juga masih khawatir dengan Freeport yang hanya membuatkan rumah yang bagus secara fisik akan tetapi tidak perduli dengan pembangunan manusianya. Tidak ada pelayanan kesehatan dan pendidikan yang cukup layak bagi masyarakat asli Papua. Dari bibir perempuan sederhana yang hanya sempat bersekolah hingga kelas 4 SD ini meluncur kalimat-kalimat yang sarat dengan filsafat tinggi tentang pembangunan manusia Papua, tentang kesehatan reproduksi perempuan papua, tentang kesehatan dan pendidikan anak-anak papua, tentang kesejahteraan ekonomi masyarakat papua. Dan Mama Yosepha tetap seorang perempuan yang sederhana, meski kemajuan teknologi mulai menyentuhnya dua tahun terakhir ketika dia mulai memakai handphone untuk memudahkannya berkomunikasi. Dia hanya bisa menggunakannya untuk menerima atau membuat panggilan telepon. Dia tidak bisa ber-sms-an. Dan orang-orang disekitarnya tidak memaksakannya untuk bisa ber-sms. Orang-orang disekitarnya cukup bijak untuk membiarkan Mama Yosepha belajar sendiri apapun yang ingin dipelajarinya. Seperti ketika dia mulai belajar berbicara bahasa indonesia karena dia ingin apa yang dipikirkannya dimengerti lebih banyak orang di luar sukunya. Ketika saya memintanya untuk menandatangani buku biografinya yang diberikannya untuk saya perempuan luar biasa ini nampak tersipu, lalu menawarkan ibu jarinya untuk membuat cap jempol!. Tapi dia tetap berusaha membuat tandatangannya dengan ballpoint yang saya berikan, dan menambahkan tanggal, bulan dan tahun. Ah, dia menulis seperti anak-anak yang baru belajar menulis. Lalu dengan ragu dan nampak tak percaya diri, dia menunjukkan buku itu pada saya dan bertanya : nona ini sudah, apa ada salah kah..? Ah, melihat matanya yang ragu-ragu, saya tidak tahan untuk tidak memeluknya dan mencium pipinya saat itu juga!. Mama Yosepha nampak tersipu setelah secara spontan saya memberinya pelukan dan ciuman di pipinya. Belakangan Roberth, yang mengajak saya bertemu Mama Yosepha, bilang : Sobat, tadi Mama senang dan terharu karena sobat memeluk dan menciumnya. Ah. Saya senang bisa membuat Mama Yosepha senang hari itu. Pada saat makan siang, Mama Yosepha membuat saya senang dan terharu karena dia khusus memasak petatas dan ayam dengan daun pakis yang dimasak dengan cara bakar batu. Mama Yosepha dengan tegas bilang : siang ini Nona dan Roberth makan dengan petatas disini, di rumah saya!. Baru kemudian saya ketahui dari Roberth, bahwa Mama Yosepha tidak selalu dan hanya kepada tamu tertentu Mama menyuguhi dengan makanan ini, jadi suguhan ini bisa dianggap untuk menghormati dan mengakui saya sebagai teman. Ah, saya senang sekali karena Mama Yosepha membuat saya merasa diakui. Saya akan datang lagi menemui kamu Mama, meski Mama su penciom nanti. su penciom: sudah pensiun, ini pelafalan Mama Yosepha untuk kata pensiun. si Okol @ 5:06:00 PM
|
Mission Accomplished.
I’m just arrived in Jayapura, safe and sound. And I have a bottle of an-almost-lost-dry-gin with me. Mission accomplished. si Okol @ 12:24:00 AM
|
|
Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from anarita_atirana. Make your own badge here.
|
copyright © 2006 okol,all rights reserved
• designed by okke
• image from gettyimages
• powered by blogger |