Waktu Terasa Lamban di Keheningan Sungai Digoel

Hey.
Aku kangen kamu.
Maaf bila kamu kesulitan menghubungi aku dan aku tidak me-reply sms-mu dengan cepat. Empat hari kemarin aku berada di pedalaman Boven Digoel, tanpa signal telepon, dan listrik yang terbatas. Setiap tengah malam, listrik akan mati, dan seluruh kecamatan akan gelap gulita. Hanya beberapa rumah penduduk yang mampu membeli genset yang lampunya menyala.

Di pedalaman itu betapa waktu terasa berjalan sangat lamban. aku hampir tak sabar untuk menceritakan kepadamu bahwa langit malam hari selalu terlihat berbeda disini, di bagian selatan Tanah Papua yang lebih datar. Bintang-bintang terlihat sangat terang, terutama bintang timur itu, setiap malam aku melihatnya. Ah, wished you’re there with me.

Ya. Aku sangat meridukanmu.
Aku melihatmu dimana-mana disepanjang 8 jam perjalanan menyusuri sungai Digoel yang lebar dan panjang. Kamu melambaikan tangan dan tersenyum gembira, seakan menyambutku untuk menepi dan tinggal di pondok sederhana di tepi sungai itu. Aku melihatmu duduk dihadapanku diatas long-boat yang membawaku pulang pergi dari Mandobo di Tanah Merah ke Kouh. Aku mendengarkan ceritamu tentang program dana bergulir untuk ibu-ibu miskin di desa yang kau lakukan dengan teman-temanmu. Tentang mobilmu yang ditabrak mobil orang dari belakang dan sedikit rusak. Tentang Tonight I Can Write the Saddest Lines, puisi Neruda yang kamu suka dan pernah dibaca dengan suara lirih Andy Garcia. Tentang keinginanmu pergi dari kotamu. Tentang salah satu kucingmu yang sakit.. Atau tentang apa saja yang biasa engkau ceritakan...

Diatas long-boat itu, engkau mendengarkan ceritaku tentang perjalananku kali ini ke pedalaman Boven Digoel. Tentang desa-desa dipedalaman Boven Digoel yang tenang dan tentram, tentang anak-anak dan orang dewasa yang menyapaku dengan ramah dan tulus setiap kali berpapasan di jalan : Selamat pagi !, selamat siang !, selamat malam!. Semua dengan senyum mengembang di wajah mereka. Tidak kulihat tatapan curiga, seperti yang kulihat di beberapa tempat lain di luar Papua.

Dalam satu pertemuan dengan masyarakat di pedalaman itu, seorang kepala sekolah di satu-satunya SMP di kecamatan itu berharap bisa didirikan perpustakaan yang bisa menjawab kebutuhan bacaan bagi anak-anak didiknya. Dia meyakini bahwa perpustakaan akan membuka mata anak-anak yang terpencil itu akan dunia luar yang lebih maju. Saat itu engkau mengangguk setuju, tapi segera menyanggah: tapi dunia maju belum tentu seramah dan setulus mereka, kan ya..? Aku tersenyum dan mengiyakan.

Engkau tahu? Kemarin aku bertemu dengan seorang anak dari suku Muyu bernama Hendrika. Dia putus sekolah karena tak bisa berbicara dengan jelas, suaranya selalu tercekat di tenggorokannya. Teman-temannya bilang, dia tidak sekolah karena tak punya seragam. Tante, Ibu guru bilang harus pakai seragam ke sekolah Karolina, temannya, menjelaskan padaku. Ah, banyak sekali hambatan yang malah diciptakan buat seseorang bisa bersekolah. Padahal menurutku seragam itu tidak penting. Bahkan bagus tidaknya gedung sekolah sekarang menjadi ukuran, padahal belajar mengajar bisa dilakukan dibawah pohon, asal gurunya mau mengajar dengan hati, kreatif dan menyenangkan. Engkau tahu, konon di Afrika sana, di negara yang lebih miskin, bersekolah di bawah pohon sudah biasa. Fisik sekolah tidak penting, dan kualitas belajar dan mengajar sudah menjadi prioritas disana, di negara-negara yang bisa jadi lebih miskin dari negara kita. Ahem. Ya..ya..ya..aku sedang bermimpi. Ya, belajar di bawah pohon disini malah dianggap sebagai sesuatu yang idealis dan romantis. Ah. Apapunlah..yang penting Hendrika seharusnya bisa mengikuti pelajaran di sekolah, karena dia ingin sekolah. Engkau pasti setuju denganku. Ah, ataukah guru-guru di sekolah biasa itu tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk Hendrika yang tidak lancar berbicara, ya? Entahlah. Mungkin perlu 25 tahun lagi untuk mengadakan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti Hendrika di kecamatan di pedalaman Papua itu. Aku hampir yakin bahwa Hendrika tidak akan pernah keluar dari kampungnya untuk sekolah di SLB di Jayapura, misalnya, karena orang tuanya yang sangat miskin tidak akan pernah mampu untuk itu. Ah, semoga segala hal yang baik akan didapatkan gadis kecil yang tak berbicara dengan jelas itu, untuk masa depannya.

Di atas long-boat itu engkau mendengarkan ceritaku tanpa bosan. Sesekali percikan air sungai membuyarkan percakapan kita. Tapi kekuatan ingatanku tentangmu dan keheningan sungai mampu mengembalikannya dan membuatnya terdengar lebih jelas dalam pikiranku. Dan kamu masih duduk dihadapanku, sayang, dan sesekali engkau menyentuh tanganku, seakan ingin meyakinkanku bahwa kamu masih mendengarkan aku.

Aku melanjutkan ceritaku tentang pertemuanku dengan seorang bapak bernama Mathias, yang diam-diam aktif dalam kegiatan jaringan underground, perjuangan untuk mewujudkan cita-cita mengibarkan bintang kejora. Aku juga bertemu dengan prajurit-prajurit Kopassus yang bertugas di Koramil di pedalaman itu. Dan pagi tadi, aku melihat Mathias naik ke atas long-boat di dampingi salah satu Kopassus bersenjata laras panjang untuk melakukan pendataan penduduk kampung di pedalaman. Ah, engkau tersenyum mendengar ini, merasa ada sesuatu yang lucu dari ceritaku...tapi memang ironik ya?. Ya, dari sisi pandang militer kita, Kopassus itu ditugaskan komandannya untuk menjaga Bapak Mathias supaya tidak diganggu para gerilyawan OPM yang dianggap masih ada dan bergerilya di hutan-hutan pedalaman. Meskipun, menurut seorang sahabat Papuaku, sebetulnya itu sungguh tak perlu. Desa-desa di pedalaman itu aman tentram. Keberadaan Kopassus di kampung-kampung itu malah menciptakan bom waktu. Yang repot kemudian adalah bapak Distrik (sebutan untuk kepala camat,..ini satu lagi yang berbeda disini, Distrik adalah sebutan untuk Kecamatan, bukan Kabupaten...). Dia harus pintar mengendalikan bom waktu itu yang justru menjadi dilema buat bapak distrik. Satu sisi, pelibatan pasukan itu akan menjadi justifikasi bahwa wilayahnya tidak aman dari gangguan, tapi disisi lain, bila dia tidak melakukannya, dia akan dianggap memihak perjuangan underground itu dan jiwanya akan terancam. Maka dilibatkanlah para prajurit itu untuk kegiatan-kegiatan kunjungan ke kampung-kampung, seperti pendataan penduduk yang sedang dilakukan, supaya mereka tidak punya prasangka yang tak perlu, supaya punya kegiatan dan terhindar dari stress karena menganggur atau hanya main bola di lapangan di samping Kantor Kecamatan itu. Dan dengan begitu mereka juga punya sedikit uang sangu untuk jalan ke kampung. Jadi begitulah...

Di atas long-boat itu, sesekali kamu melihat ke atas ketika sepasang burung beberapa kali melintas diatas pucuk-pucuk pohon di hutan sepanjang tepi sungai. Engkau seakan iri dengan kebebasan burung itu berputar-putar di angkasa, terbang kemanapun mereka suka....ah, ya aku selalu ingat pada kebosananmu saat harus tinggal lebih lama di kotamu...

Engkau tersenyum setiap kali melihatku melambaikan tangan dengan senang ketika berpapasan dengan long-boat yang lain, atau perahu-perahu kayu kecil di tepi sungai yang membawa perempuan dan anak-anak suku Muyu dari satu kampung ke kampung yang lain. Engkau tersenyum melihat mereka membalas lambaian tangan dan senyumku....


Ya, Aku merindukanmu.
Dan betapa waktu terasa lebih lamban berjalan di keheningan sungai itu.

Catatan dari perjalanan ke Boven Digoel, 18-24 June 2007.

si Okol @ 9:29:00 AM
|



Tentang saya

Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting

Jeprat-jepret

jalanjalan

www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from anarita_atirana. Make your own badge here.

Apa.??


Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Sampai hari ini

  • Yosepha Alomang
  • Mission Accomplished.
  • Menjemput Dry Gin...
  • Mancing...
  • Dewi Anumby, 19 tahun saja.
  • Tentang Hujan Bulan Juni
  • Song for the Asking
  • Fully Recharged.
  • Cukup..
  • Sa Su Sampai di Papua !
  • Arsip

  • December 2004
  • January 2005
  • February 2005
  • March 2005
  • April 2005
  • May 2005
  • June 2005
  • July 2005
  • August 2005
  • September 2005
  • November 2005
  • December 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • May 2006
  • June 2006
  • July 2006
  • September 2006
  • November 2006
  • December 2006
  • January 2007
  • February 2007
  • March 2007
  • April 2007
  • May 2007
  • June 2007
  • July 2007
  • August 2007
  • September 2007
  • September 2008
  • copyright © 2006 okol,all rights reserved • designed by okke • image from gettyimages • powered by blogger