Yosepha Alomang
Gunung Nemangkawi itu Saya,
Danau Wanagong itu Saya punya sum-sum,
laut itu saya punya kaki,
Tanah ditengah ini tubuh Saya.
Kou sudah makan Saya,
Mana bagian dari Saya yang kou belum makan dan hancurkan?
Kou sebagai pemerintah harus lihat,
dan sadar bahwa kou sedang makan Saya.
Coba kou hargai tanah dan tubuh Saya..!!

-Yosepha Alomang, Mei 2000, dalam bukunya :
Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan,




Ternyata, dia perempuan yang sederhana berusia setengah baya, dengan postur mungil yang sekilas nampak lemah, tapi dengan garis wajah yang tegas. Perempuan mungil tapi perkasa itu adalah Yosepha Alomang, perempuan suku Amungme yang berasal dari lembah Tsinga, yang mendapatkan Yap Thiam Hien Award dan Goldman Environment Award karena perjuangannya untuk hak-hak asasi masyarakat asli Papua yang terampas oleh Freeport dan aktif melakukan advokasi issu-issu lingkungan terkait kegiatan penambangan yang dilakukan Freeport.

Sorot matanya tajam, meski kemudian kuketahui dari ceritanya bahwa mata sebelah kirinya sudah mulai lamur karena katarak, atau mungkin akibat dari berbagai penderitaan yang dilaluinya selama memerangi Freeport. Dia pernah disiksa, disekap selama dua minggu di sebuah container tanpa diberi makan, bahkan disekap di WC yang penuh tinja setinggi lututnya. Ketika saya menganjurkannya untuk memeriksakan matanya dan bila mungkin melakukan operasi supaya dia dapat melihat lagi dengan jelas, beberapa kali dia menggelengkan kepalanya dengan mata yang menerawang, lalu dia mengungkapkan sesuatu yang menjadi jawaban pertanyaan saya saat dia menerawang: apa yang dia pikirkan..? Dengan bahasa Indonesia logat Papua yang dipelajarinya secara otodidak, dia mengungkapkan kekhawatirannya bila dia melakukan operasi mata, sa takut seperti Munir…su sering orang jadi sasaran-sasaran seperti itu..sa tidak mau..

Saya kemudian dapat memahami kekhawatirannya. Karena bagi seorang Yosepha Alomang, perjuangannya tidak lantas berhenti karena dua penghargaan yang didapatnya. Dia akan terus bersuara selama orang Papua belum mendapatkan keadilan di tanahnya sendiri. Berkali-kali dia dicoba dibungkam, bahkan dilenyapkan dengan berbagai cara, tetapi tak pernah berhasil. Karena seorang Mama Yosepha saat ini adalah seorang perempuan yang sangat powerful. Dunia internasional kini mengawasi dan menjaganya.

Selama tiga jam pertemuan saya dengannya, dengan bahasa Indonesia yang penuh kiasan, tak hentinya dia berbicara tentang pandangannya, kecemasannya tentang situasi saat ini dan harapan-harapannya untuk kesejahteraan masyarakat asli Papua. Dia khawatir karena hingga saat ini belum ada putra Amungme atau putra asli Papua lain yang bisa berhasil membangun masyarakatnya untuk lebih sejahtera. Mama Yosepha juga masih khawatir dengan Freeport yang hanya membuatkan rumah yang bagus secara fisik akan tetapi tidak perduli dengan pembangunan manusianya. Tidak ada pelayanan kesehatan dan pendidikan yang cukup layak bagi masyarakat asli Papua. Dari bibir perempuan sederhana yang hanya sempat bersekolah hingga kelas 4 SD ini meluncur kalimat-kalimat yang sarat dengan filsafat tinggi tentang pembangunan manusia Papua, tentang kesehatan reproduksi perempuan papua, tentang kesehatan dan pendidikan anak-anak papua, tentang kesejahteraan ekonomi masyarakat papua.

Dan Mama Yosepha tetap seorang perempuan yang sederhana, meski kemajuan teknologi mulai menyentuhnya dua tahun terakhir ketika dia mulai memakai handphone untuk memudahkannya berkomunikasi. Dia hanya bisa menggunakannya untuk menerima atau membuat panggilan telepon. Dia tidak bisa ber-sms-an. Dan orang-orang disekitarnya tidak memaksakannya untuk bisa ber-sms. Orang-orang disekitarnya cukup bijak untuk membiarkan Mama Yosepha belajar sendiri apapun yang ingin dipelajarinya. Seperti ketika dia mulai belajar berbicara bahasa indonesia karena dia ingin apa yang dipikirkannya dimengerti lebih banyak orang di luar sukunya.

Ketika saya memintanya untuk menandatangani buku biografinya yang diberikannya untuk saya perempuan luar biasa ini nampak tersipu, lalu menawarkan ibu jarinya untuk membuat cap jempol!. Tapi dia tetap berusaha membuat tandatangannya dengan ballpoint yang saya berikan, dan menambahkan tanggal, bulan dan tahun. Ah, dia menulis seperti anak-anak yang baru belajar menulis. Lalu dengan ragu dan nampak tak percaya diri, dia menunjukkan buku itu pada saya dan bertanya : nona ini sudah, apa ada salah kah..? Ah, melihat matanya yang ragu-ragu, saya tidak tahan untuk tidak memeluknya dan mencium pipinya saat itu juga!. Mama Yosepha nampak tersipu setelah secara spontan saya memberinya pelukan dan ciuman di pipinya. Belakangan Roberth, yang mengajak saya bertemu Mama Yosepha, bilang : Sobat, tadi Mama senang dan terharu karena sobat memeluk dan menciumnya. Ah. Saya senang bisa membuat Mama Yosepha senang hari itu.

Pada saat makan siang, Mama Yosepha membuat saya senang dan terharu karena dia khusus memasak petatas dan ayam dengan daun pakis yang dimasak dengan cara bakar batu. Mama Yosepha dengan tegas bilang : siang ini Nona dan Roberth makan dengan petatas disini, di rumah saya!. Baru kemudian saya ketahui dari Roberth, bahwa Mama Yosepha tidak selalu dan hanya kepada tamu tertentu Mama menyuguhi dengan makanan ini, jadi suguhan ini bisa dianggap untuk menghormati dan mengakui saya sebagai teman. Ah, saya senang sekali karena Mama Yosepha membuat saya merasa diakui. Saya akan datang lagi menemui kamu Mama, meski Mama su penciom nanti.


su penciom: sudah pensiun, ini pelafalan Mama Yosepha untuk kata pensiun.
si Okol @ 5:06:00 PM
|



Tentang saya

Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting

Jeprat-jepret

jalanjalan

www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from anarita_atirana. Make your own badge here.

Apa.??


Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Sampai hari ini

  • Mission Accomplished.
  • Menjemput Dry Gin...
  • Mancing...
  • Dewi Anumby, 19 tahun saja.
  • Tentang Hujan Bulan Juni
  • Song for the Asking
  • Fully Recharged.
  • Cukup..
  • Sa Su Sampai di Papua !
  • Next Duty Station: Papua.
  • Arsip

  • December 2004
  • January 2005
  • February 2005
  • March 2005
  • April 2005
  • May 2005
  • June 2005
  • July 2005
  • August 2005
  • September 2005
  • November 2005
  • December 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • May 2006
  • June 2006
  • July 2006
  • September 2006
  • November 2006
  • December 2006
  • January 2007
  • February 2007
  • March 2007
  • April 2007
  • May 2007
  • June 2007
  • July 2007
  • August 2007
  • September 2007
  • September 2008
  • copyright © 2006 okol,all rights reserved • designed by okke • image from gettyimages • powered by blogger