![]() |
|
Dia Sahabat Hati.
![]() Kami bertemu pertama kali di salah satu guest house yang disewa lembaga tempat kami bekerja di Aceh. Namanya Ucok, orang-orang memanggilnya demikian. Dan aku tak ambil pusing untuk mencari tahu nama aslinya. Kupikir lucu juga ada perempuan dengan panggilan Ucok, PKU, Perempuan Kok Ucok. Baru kemudian kuketahui nama aslinya yang sangat manis, Rini. Dan dia sungguh seorang yang sangat manis sebagai teman dan sahabat, meski buat sebagian orang, dan terkadang memang, dia sungguh anak perempuan yang ngeyel, ngeselin, amat jahil dan keras kepala. Tapi karena dia ngeyel dan keras kepala, maka dia sungguh perempuan yang mau berjuang untuk prinsip hidupnya. Dia akan bicara blak-blakan tentang ketidak setujuannya kepada orang yang dia lihat melakukan hal-hal yang menurutnya bodoh, misalnya seperti yang terjadi di tengah hiruk pikuk penandatanganan MoU di mesjid Raya Banda Aceh tahun lalu. Seorang mbak-mbak berjilbab entah dari lembaga mana dilabraknya di depan orang banyak karena buang sampah begitu saja di halaman mesjid itu. Dia juga menguliahi perawat-perawat di rumah sakit di Banda Aceh ketika aku di opname, dia anggap mereka tidak becus merawat aku dan pasien di kamar sebelahku yang menjerit-jerit karena infusnya habis dan darah sudah naik di selang infus itu.... Dia Ucok, yang setiap jam lima pagi siaga bangun untuk bisa memanfaatkan waktu murah dari Mentari supaya bisa ngobrol lebih lama dengan semua keponakannya di Jakarta, mereka antri bergiliran bicara dengan Bu Lik-nya, untuk cerita kemajuan sekolah, biaya-ini itu, apapun. Dan Ucok akan sabar mendengarkan mereka semua. Mengajak anak-anak itu berdiskusi tentang rencana kelanjutan sekolah mereka, tentang hobby yang ingin mereka tekuni, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Dia perempuan dewasa yang sangat menghargai dan mau mendengarkan pendapat anak-anak. Dia juga tak pernah absen bicara dengan bundanya, tentang berbagai hal yang terjadi di rumah mereka. Sesuatu yang aku sangat iri. Dan dia sangat mengerti rasa kangenku sama ibuku almarhum. Dia dengan manis akan menawarkan apakah aku mau bicara dengan bundanya setiap kali dia menelpon bundanya, kadang dia tiba-tiba menyodorkan hapenya padaku dan berkata: nih, mami mau bicara sama Oon. Ah, dia membagi perhatian bundanya dengan aku. Kami selalu berbagi kamar, di guest house, di kamar kostan berhantu dekat kantor, dan di rumah yang kami sewa bersama teman-teman yang lain, yang juga berhantu. Kami memutuskan untuk tetap sekamar. Kami patungan beli AC untuk kamar kami agar lebih nyaman. Kami saling tahu semua kebiasaan masing-masing dari bangun tidur sampai mau kembali tidur. Kami bicara setiap hari, bangun tidur, atau menjelang tidur. Tentang apapun. Kami berbagi kesenangan dan kesedihan. Kami merasa bebas untuk saling melakukan hal-hal konyol di kamar itu. Dia sering membuatku harus terbirit keluar kamar sambil nutup hidung dan ngomel-ngomel karena dia buang angin suka-suka, sementara dia tertawa ngakak bahagia. Dan, aku masih giggling sendiri saat ingat kejadian yang sungguh memalukan buatku di kamar itu, Ucok pernah nge-gep aku saat sedang nakal-nakal dengan pengunjung-setia-setiap-bulanku di Aceh. Aku ingat bagaimana awkward-nya dia melihat kami dan segera terbirit keluar kamar, dan aku ingat bagaimana aku dan dia tertawa ngakak sesudahnya. Bagaimana aku jadi bulan-bulanan celaan dan tertawaan dia berhari-hari berikutnya. Geblek. Untungnya dia Ucok dan bukan polisi syariah.... Dia, Ucok, yang menyimpan sendirian kesakitan di perutnya, dan tetap berusaha membuat teman-teman tertawa dengan kekonyolannya. Dia yang kemudian menyerah dan mau menjalani operasi besar dirahimnya, karena Ucok udah capek bikin semua orang khawatir sama Ucok.....Dia yang kemudian membuat kami semua lega dan senang melihatnya karena sesudah operasi dia tidak kurus lagi, dan pipinya yang dulu cekung kini berdaging dan sering nampak memerah. Dia bahkan berbagi pengalaman dan berusaha menyemangati kakak perempuanku yang ternyata juga menderita sakit yang sama dan harus dioperasi. Lalu kami harus berpisah, aku melanjutkan perjalanan spiritualku di Papua sementara dia tetap di Aceh. Dan kami masih melanjutkan ritual meski melalui telepon. Kami bisa tetap menangis dan tertawa bersama meski lewat telpon. Kami terbahak berdua saat dia cerita jampi-jampi yang dikasih Aji Aneh agar Wicak, lelaki yang sungguh dia sayangi, bisa lebih sayang sama dia, dan diam-diam aku amini: si Okol @ 11:56:00 AM
|
|
Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting |
copyright © 2006 okol,all rights reserved
• designed by okke
• image from gettyimages
• powered by blogger |