Orang Aceh itu…
Pada satu sore yang tak terlalu sibuk, saat menikmati sanger diseling sedotan sampoerna a mild menthol di Ulee Kareng, seorang kolega kerja yang orang Aceh bertanya: sebagai orang yang berlatar belakang Antropology, apa pendapatmu tentang kami orang Aceh ?

Buat gua, pertanyaan tersebut seakan sebuah “tembakan” yang jitu, menyentak pada celah pikiran yang justru sedang dipenuhi perdebatan tentang karakter orang Aceh, antara sisi gua sebagai antropolog yang tidak boleh etnosentrik dan berusaha taat pada asas relativisme budaya --bahwa sebuah kebudayaan tidak dapat dinilai dengan nilai-nilai budaya lain kecuali nilai-nilai budaya itu sendiri--, dengan sisi gua yang lain yang ternyata hanya manusia biasa yang tak luput dari penilaian subyektif.

Selama gua bekerja di Aceh untuk salah satu INGO, berkali-kali cerita tentang orang Aceh yang menunjukkan bahwa orang Aceh itu termasuk orang yang “sulit” pernah mampir di telinga gua. Gua tidak begitu saja percaya dan tetap berpikiran bahwa orang Aceh yang “sulit” itu hanya “oknum”, sebagian kecil saja, yang pasti juga ada di berbagai etnik pada masyarakat yang lain. Meskipun ada keraguan --ketika gua mulai merasa perlu bertanya pada diri sendiri (kepada sisi gua yang antropolog..), bener nggak ya?—

Apakah karakter “sulit” itu memang karakter yang dimiliki secara bersama, setidaknya oleh mayoritas orang Aceh..? jawabannya perlu penelitian observasi partisipasi
[1] yang cukup lama untuk dapat menilai karakter orang Aceh itu memang demikian atau tidak demikian. Di kedai kopi itu, ditengah obrolan tentang karakter orang Aceh itu, seorang teman yang lain, yang juga orang Aceh, menimpali: “buat kami orang Aceh pokoknya nggak ada itu istilah win-win solution, mbak, yang ada hanya win atau lose sekalian, hahahah…..” dan dia tertawa dengan enaknya. Gua juga ikut tertawa, tapi dengan satu pikiran yang lagi-lagi mengendap dikepala. Bahwa, karakter itu socially and culturally constructed, dan khusus untuk Aceh, berdasarkan sejarahnya, karakter itu juga dibentuk oleh situasi dan kondisi politik yang terjadi di Aceh. Analisis cepat ini memunculkan hipotesis bahwa karakter “sulit” orang Aceh adalah karena bentukan dari perlakukan rejim orde baru yang tidak adil terhadap Aceh, dan represi militer saat DOM diberlakukan. Bener nggak ya?, pastilah kayaknya sudah ada yang pernah melakukan riset tentang ini.

Lalu kami membahas kaitan prinsip orang Aceh itu dengan issu yang masih hangat, tentang perjanjian damai RI-GAM, bahasannya adalah berdasarkan prinsip "win or lose" itu mengapa GAM mau menandatangani MoU dengan Pemerintah? Seorang anggota forum ngupi ule kareng yang lain nimbrung setengah guyon: “.. makanya GAM mau tandatangan itu kan karena GAM udah Win, hahah….” Dan konon, berdasarkan kajian si Abang seorang aktivis pengamat peace deal, bila dicermati, GAM sudah menang dari team-nya Hamid Awaloedin sebagai representasi pemerintah RI, dengan score 11 : 0 dari keseluruhan point-point MoU tsb. Ugh, mungkin bener juga ya..? siapa sih Hamid Awaloedin? dia mungkin Menkumdang, tapi bisa jadi dia bukan negosiator yang handal. Bahwa GAM boleh punya bendera dan lagu kebangsaan sendiri buat gua itu udah cukup buat jadi indikator bahwa sudah terbentuk embrionya Negara GAM. Mengalah untuk menang next time, atau GAM memang memilih "Lose" demi perdamaian dan hidup tenang yang ditunggu rakyat Aceh...

Lalu, dalam kesempatan yang lain, temen yang orang Aceh ini juga pernah berkata : “Orang aceh itu kalau dijahatin bisa lebih jahat tapi kalau dibaikin juga bisa tetep jahat,…huahaahha…” lalu dia juga tertawa dengan enaknya…Gua, setengah serius mencoba memberikan imbangan dengan cerita bahwa gua malah berkali-kali mendapatkan kebaikan dari orang Aceh. Beberapa kali gua ke desa-desa untuk monitoring program, bertemu dengan orang-orang yang menurut gua sangat baik dan terbuka menerima kedatangan gua. Tak jarang pula dengan senang hati mereka memberikan oleh-oleh yang meskipun berusaha gua tolak --karena policy kantor tidak membolehkan-- terpaksa harus gua terima karena tidak enak mengecewakan orang yang memberi, toh barang yang diberikan pun “tak seberapa” bila dilihat dari harganya, sekantung plastik telur ayam kampong, atau beberapa ekor kepiting hasil tangkapan mereka (yang ini sulit gua tolak karena gua sangat suka kepiting….), atau kue-kue buatan ibu-ibu di kampong, malah satu kali di Lhokseumawe gua tiba-tiba dipaksa oleh seorang ibu untuk menerima kue “Meusekat”. Menurut teman-teman, itu kue luar biasa karena tidak setiap hari ada, itu kue khusus yang biasa dibuat oleh pihak pengantin perempuan untuk hantaran kepada pengantin laki-laki, atau hanya ada pada hari-hari raya tertentu…Gua sempat merenung, kok dari sekian banyak orang yang datang ke kampong itu, hanya gua yang dikasih ya..?

Gua, lagi-lagi sebagai seorang Antropolog, berpikir bahwa untuk sebuah masyarakat yang lama direpresi dan “dikuyo-kuyo”, sangat pantas buat selalu curiga pada apapun atau siapapun yang datang…meskipun kadang bete juga kalo belum apa-apa sudah disuguhi “curiga” Kadang butuh waktu untuk menunjukkan bahwa gua nggak bermaksud bawa kesulitan..bahwa kalo bisa gua hanya ingin membantu…dan kalo gua nggak berguna disini, lebih baik gua pulang ke Jakarta….heuheuh..iya toh..?

What can I say? Sisi Antropolog gua sering mencoba berdamai dengan sisi human gua. Dan karena gua bukan orang Aceh, maka gua most of the times berprinsip “win-win” hehe..dan perdebatan berhenti sampai disitu, sampai gua ketemu lagi sama hal-hal yang memicu pikiran itu muncul lagi, debat lagi…. Kadang gua pake pembenaran bahwa bagaimanapun, antropolog juga manusiaa..!!! dan ternyata konon bahkan seorang Malinowski, salah satu Antropolog terkenal, yang penelitian etnografinya di masyarakat Trobriand dianggap sebagai salah satu referensi etnografi terbaik dalam dunia antropologi, ternyata juga tak terhindarkan dari subyektifitas, konon, dibalik catatan penelitiannya yang luar biasa itu juga terselip catatan penuh caci makinya selama dia melakukan riset ethnografi masyarakat Trobriand…Hah!!

[1] Suatu metode yang biasa digunakan para antopolog dalam penelitian ethnografi, dimana peneliti tinggal, hidup bersama dan menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti, hidup dengan cara dan nilai-nilai masyarakat tersebut. Ethnografi tentang Aceh pernah dibuat seorang Snouck Hurgronje, Antropolog Belanda yang melakukan penelitian di Aceh pada masa penjajahan Belanda. Snouck melakukan penelitian itu dalam kerangka seorang orientalis untuk kepentingan pemerintah Belanda.

si Okol @ 8:44:00 PM
|



Tentang saya

Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting

Jeprat-jepret

jalanjalan

www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from anarita_atirana. Make your own badge here.

Apa.??


Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Sampai hari ini

  • Langit Banda Aceh sore hari...
  • Where the Money is : INGO as A Big Business
  • Only the Good Died First....
  • TGIF..!! (Thank's God It's Friday...!!)
  • I'm Breathing...
  • Long Lasting Change or Long Lasting Dependency?
  • What do You Think about Peace Deal...?
  • Living Lab itu bernama Aceh pasca Tsunami
  • What A Morning Spirits.....
  • It's all about your mind?
  • Arsip

  • December 2004
  • January 2005
  • February 2005
  • March 2005
  • April 2005
  • May 2005
  • June 2005
  • July 2005
  • August 2005
  • September 2005
  • November 2005
  • December 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • May 2006
  • June 2006
  • July 2006
  • September 2006
  • November 2006
  • December 2006
  • January 2007
  • February 2007
  • March 2007
  • April 2007
  • May 2007
  • June 2007
  • July 2007
  • August 2007
  • September 2007
  • September 2008
  • copyright © 2006 okol,all rights reserved • designed by okke • image from gettyimages • powered by blogger