Long Lasting Change or Long Lasting Dependency?
Gerakan NGO dan organisasi rakyat hingga kini masih bersemangat menolak keberadaan badan-badan keuangan dunia macam WB atau IMF yang konon malah menciptakan ketergantungan negara-negara dunia ketiga terhadap utang luar negeri, dan karenanya menciptakan kemiskinan yang berkelanjutan dan ketergantungan terhadap utang. Apa yang salah dengan mekanisme bantuan hutang luar negeri itu bagi negara-negara miskin pengutang? Disisi mana mekanisme tersebut malah menjerat negara miskin ke dalam hubungan ketergantungan? Pasti bukan issu baru, dan gua jelas bukan orang pertama yang berpikir tentang hal ini. Tapi lately, gua sedang focus pada hal lain, boleh dibilang satu kekhawatiran yang muncul dari beberapa hal yang gua lihat dan alami, dan gua duga merupakan mekanisme yang akan menciptakan ketergantungan yang mirip, disini, di Aceh pasca tsunami. First, let’s see this sentence:

In UN HABITATE, UNICEF and WORLD VISION PLAN to Save the Children, but WHO CAREs? OXFAM, CARDI, IOM, TDH, Mercy Corp and GLOBAL SINC said: We CONCERN, so we’ll give money from SAMARITAN’S PURSE to help Aceh Recovery Forum!!

Ya, kalimat diatas nggak bermakna apapun, gua cuma iseng menyusun nama-nama INGO yang saat ini sedang bekerja di Aceh menjadi sebuah kalimat. Percayalah, jumlah NGO yang ada dalam kalimat tsb masih sebagian kecil, bisa bikin kalimat lebih panjang kalo mau…. Tahukah anda, di awal-awal setelah tragedi tsunami, lebih dari 500 INGO dan NGO masuk ke Aceh? Can you imagine that? It’s a crowded!! Masing-masing membawa mottonya sendiri-sendiri, yang mencerminkan masing-masing ideologi maupun pendekatan yang dipakai. Disini, tidak hanya terjadi pameran banner dan bendera, tapi juga terjadi perang motto. Salah satunya adalah yang menginspirasi gua atas kekhawatiran ini: “with partners, create long lasting change”, have you heard that? Right, it’s from one of INGO’s, one of the biggest player here in Aceh after Tsunami. Apa yang dimaksud mereka dengan long lasting change? Gue, termasuk yang harus memahami itu karena gue disini kerja officially dengan bendera dan motto mereka. Seorang kolega senior dari Jepang yang menjadi sahabat baru gua disini menyatakan bahwa menurut pemahamannya, long lasting change itu adalah A change which last long time. Not changes or changing all the time. Bagaimana menciptakan a long lasting change yang dimaksud?, bila gua boleh membayangkan adalah sebuah proses panjang dan rumit ketika motto itu coba diterapkan disini, di Aceh yang hampir setengah masyarakatnya hancur diterjang Tsunami.

Kekhawatiran gua adalah, alih-alih menciptakan long lasting change, yang terjadi malah long lasting dependency. Kekhawatiran ini tidak hanya untuk INGO pembawa motto create long lasting change, tapi untuk semua INGO dan NGO yang bekerja untuk penyembuhan Aceh.

Mengapa gua sangat khawatir?

Terlepas dari keberadaan BRR yang sangat lamban bergerak, disini, beratus NGO, lokal maupun international berlomba mendapatkan sebanyak mungkin beneficiaries untuk program bantuan yang dibawa dan diamanatkan oleh para donor. Bermacam jurus dan strategi dipakai oleh semua INGO yang ada. Serangkaian program lengkap dengan perangkat monitoring dan variabel yang menjadi indikator u mengukur capaian program telah disiapkan. Namun celakanya, indicator yang menjadi ukuran keberhasilan program hingga hari ini melulu dilihat dari berapa jumlah duit yang tersalur, berapa jumlah desa, jumlah beneficiaries. Ada pemahaman di tingkat operasional program di bawah bahwa mereka sedang dipacu untuk sebanyak mungkin menghabiskan dana yang ada, apapun caranya. Semuanya mengejar angka. Jangan heran bila cara yang dilakukan pun masih sebatas program charity, program yang berlandaskan belas kasihan. Hit and run. Semua NGO di-push untuk segera menghabiskan dana, yang akan jadi masalah bila diakhir program ternyata mereka underspent. Semua NGO berlomba menjadi lembaga yang kredibel dalam arti mampu menghabiskan dana untuk program, padahal dana itu belum tentu sampai ke beneficiaries yang berhak, dan bisa jadi berceceran dimana-mana sepanjang jalan Karena kantongnya bocor digerogotin tikus-tikus lapar yang suka duit…

Upaya pengembalian livelihood korban tsunami misalnya sebagian besar dilakukan dalam bentuk grant, untuk penggantian boat, atau asset kerja lain. Sebagian kecil dalam bentuk mixed grant loan, dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa tanggungjawab bahwa modal yang diberikan harus dikembalikan. Sedikit INGO yang memberikan bantuan dengan kesadaran ini, bahwa jangan sampai bantuan yang diberikan malah mematikan potensi yang sudah ada di masyarakat itu sendiri, potensi untuk kembali bangkit (yang, somehow, gua yakin potensi itu tetap ada di masyarakat, potensi untuk mampu menyelesaikan sendiri setiap persoalan yang muncul di masyarakat..). Sebagian besar masih memakai cara gampang dengan memberi ikan, bukan kail. Sebuah program intervensi yang disusun dengan kesadaran ini pun belum tentu diterjemahkan demikian oleh para tenaga lapangan. Teori dengan praktek malah bisa jadi jauh panggang dari api dan membuahkan dampak yang berbeda dengan tujuan awal, karena tenaga lapangan yang sok pinter dan merasa lebih tahu dari pada korban tsunami tentang kondisi mereka sendiri. Intervensi pemberian ikan kepada masyarakat yang lapar memberikan penguatan terhadap pembentukan mental victim yang sedang di“timang-timang” dunia international, perilaku aji mumpung dan ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya bantuan telah tumbuh pada sebagian masyarakat korban tsunami. Telah tumbuh juga pada sebagian Ngo lokal yang mengaku ingin berpartner untuk menolong korban tsunami. Gua pernah menerima sebuah proposal dari sebuah Ngo lokal yang mengaku melakukan pendampingan kelompok ibu-ibu korban tsunami untuk membuat usaha catering, mereka berjumlah 40 orang, dan tahukah anda berapa budget yang mereka minta dalam proposal ? 2,5 Milyar !! It’s insane!! Duasetengahmilyarrupiah hanya untuk 40 orang beneficiaries yang mau buat usaha katering!! Gua tidak merasa perlu memeriksa proposal itu lebih lanjut sebelum membuangnya ke tempat sampah!.

Di sisi lain, rekonstruksi Aceh membuka lapangan pekerjaan untuk berbagai kelas pekerja, dari yang paling rendah hingga level top managerial. Semua INGO memasang iklan lowongan pekerjaan, mulai di Koran lokal sampe internet. Persaingan rekruitmen berjalan kencang dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi. Expatriate yang bekerja untuk lembaga-lembaga asing yang belum tentu expert dan paham situasi Aceh datang silih berganti. Sebagian hanya ingin menambah panjangnya daftar pengalaman kerja dalam CV mereka. Turn over yang tinggi para expatriate cenderung memperlambat penanganan Aceh. Capacity building tidak terbangun dengan kontinyu, disini, karena pergantian orang bisa jadi perubahan program yang kadang harus dimulai lagi dari nol. Belum lagi expat yang sok expert, yang berpikir hanya merekalah yang harus jadi expert, tidak ada semangat untuk mendorong meningkatkan kapasitas orang lokal.

Aceh setelah Tsunami, ibarat keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau, Seorang teman malah pernah bilang: It’s just another DOM for Aceh. . Lingkaran ketergantungan sudah mulai terbentuk diantara INGO, NGO’s dan korban tsunami. So, is it a lasting change or a lasting dependency? What do you think?

Dalam situasi yang sedang berkembang seperti saat ini di Aceh, gua sangat menghargai orang-orang, expat maupun lokal, yang mau bekerja dengan hati nurani, untuk Aceh. Bagaimanapun gua percaya mereka ada disini, dan semoga kekhawatiran gua hanya tinggal kekhawatiran semata. Keep up the good work guys!!

(anggap saja ini omelan gua tentang situasi di Aceh, semua hanya opini, based on my own experiences and observation, dan menjadi tanggung jawab gua pribadi…)
si Okol @ 1:45:00 PM
|



Tentang saya

Saya, yang senang berbagi cerita apa saja tentang hidup, yang penting maupun nggak penting

Jeprat-jepret

jalanjalan

www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from anarita_atirana. Make your own badge here.

Apa.??


Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Sampai hari ini

  • What do You Think about Peace Deal...?
  • Living Lab itu bernama Aceh pasca Tsunami
  • What A Morning Spirits.....
  • It's all about your mind?
  • Pesan Seorang Aktivis Perempuan
  • Far away so close....
  • Books.....!!!
  • Omelan orang Aceh tentang Tsunami
  • “Starbucks” Ulee Kareng
  • A Sentimental Tuesday
  • Arsip

  • December 2004
  • January 2005
  • February 2005
  • March 2005
  • April 2005
  • May 2005
  • June 2005
  • July 2005
  • August 2005
  • September 2005
  • November 2005
  • December 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • May 2006
  • June 2006
  • July 2006
  • September 2006
  • November 2006
  • December 2006
  • January 2007
  • February 2007
  • March 2007
  • April 2007
  • May 2007
  • June 2007
  • July 2007
  • August 2007
  • September 2007
  • September 2008
  • copyright © 2006 okol,all rights reserved • designed by okke • image from gettyimages • powered by blogger